Djoko Poernomo
Warung bebek goreng bertebaran di mana-mana. Tetapi, yang satu ini pantas diperhitungkan dari segi kebersihan, rasa, layanan, dan cara pengolahan.
Selebihnya adalah kelengkapan. Sambal korek diulek di atas cobek dan hanya terdiri atas cabai rawit, garam, bawang, kemudian disiram minyak bekas gorengan.
Itulah warung bebek goreng H Slamet di Sedahromo Lor RT 01 RW 07, Kartasuro, Sukoharjo, Jawa Tengah. Meski masuk Kabupaten Sukoharjo, warung Slamet gampang dicari dan dijangkau karena berlokasi tak jauh dari jalan raya Solo-Yogya. Dari pusat Kota Solo hanya berjarak sekitar 9 kilometer.
Mengingat sambal korek menjadi andalan yang sudah diakui banyak pihak, Slamet ”berani” menuliskannya di kardus pembungkus dengan huruf gede-gede. Bunyinya ”Bismillahir Rahmanir Rahim, Bebek Goreng, Spesial Sambal Korek, Lezat, Dijamin Halal, H Slamet (Asli)”. Untuk sambal korek, Slamet sehari membutuhkan 20 kilogram cabai rawit.
Jika di kardus pembungkus baru tercantum tiga cabang, di kartu nama yang dibuat belakangan sudah tercantum enam cabang. ”Kini bebek goreng serasa Sedahromo juga ada di Jakarta, Bekasi, Yogyakarta, Semarang, Gresik, dan Bogor,” tutur pemilik warung bebek goreng H Slamet yang bernama lengkap Haji Slamet Raharjo (59), warga Solo asli.
Slamet mengatakan, cabang-cabang itu bukan bersistem waralaba (franchise), melainkan ”menunjang kerja sama”.
”Kalau franchise perhitungannya terlalu jelimet,” tutur bapak tujuh anak dan kakek enam cucu ini. Dari tujuh anak, lima di antaranya memegang satu cabang, kecuali anak nomor lima yang memilih menjadi guru sekolah dasar, dan anak bungsu masih kuliah.
Menurut Slamet, dia membimbing pihak yang bekerja sama dengannya selama tiga bulan yang dapat diperpanjang bila pihak kedua merasa belum mampu mandiri. Sebegitu jauh Slamet tak bersedia merinci syarat kerja sama.
”Lebih baik mengenal lebih dulu usaha bebek goreng yang gampang-gampang sulit. Jangan grusa-grusu (tergesa-gesa). Saya terbuka, kok...,” ujar Slamet
Di lingkungan kota Kecamatan Kartasuro ditemukan banyak warung sejenis. Karena itulah, Slamet perlu mencantumkan kata ”Asli” di kardus pembungkus serta papan nama penunjuk
”Berbagai warung bebek goreng mengaku dari sini. Padahal, tak ada hubungannya sama sekali. Karena itulah, saya terpaksa menyebutkan H Slamet (Asli),” tutur Slamet yang warungnya berdiri sejak tahun 1986.
Rasa khas
Warung pertama berdiri di pinggir jalan Solo-Yogya. Akibat terkena pelebaran jalan, sejak tahun 1992 warung pindah 100 meter ke dalam, menempati halaman rumah pribadi. Meski demikian, jumlah pelanggan tak surut, mereka justru merasa aman karena tidak takut tersambar bus besar di jalan raya Solo-Yogya.
Letkol Heru Juli Cahyono, karyawan Departemen Pertahanan di Jakarta yang akhir pekan selalu pulang ke Kartasuro menengok keluarga, sekembali ke Jakarta sering membawa oleh-oleh bebek goreng Slamet untuk rekannya sekantor.
Ketika suatu hari dia kehabisan bebek goreng karena terlambat mendatangi warung Slamet, dia ”nekat” membeli bebek goreng di warung lain, kemudian mengganti kardus pembungkus dengan kardus hijau khas milik Slamet.
Komentar pertama yang keluar dari penerima oleh-oleh, ”Rasa bebek goreng Pak Slamet, kok, tidak seperti biasanya.”
Setelah kejadian itu Heru tak berani main-main. Ia hanya bersedia membawa oleh-oleh bebek goreng made in Slamet yang asli, bukan hanya pembungkusnya.
”Cerita semacam itu selalu muncul. Malah ada yang mengaku sebagai bekas juru masak saya dan membuka warung sendiri dengan embel-embel nama Slamet. Tetapi, pelanggan ya tahu itu palsu...,” kata Slamet.
Warung ini punya 17 karyawan, 12 orang di bagian dapur dan 5 orang di bagian pelayanan. Bagian dapur dikomandani Hj Baryatin Slamet dan bagian pelayanan diawasi Slamet sendiri. Jika tidak menemani tamu, Slamet masih terjun ke penggorengan sekaligus mengontrol mutu.
”Pada dasarnya, daging bebek tak perlu digoreng lama karena sebelumnya sudah direbus empat jam. Prinsip menggoreng hanya untuk memanaskan,” ujarnya.
Bahan baku
Slamet hanya memakai bebek jenis super yang sudah empat kali bertelur dalam rentang selama sekitar dua tahun. Di kalangan peternak, bebek demikian termasuk apkiran. Slamet justru menghindari bebek muda karena dagingnya mudah hancur saat direbus. Bahan baku disetor pemasok dua hari sekali, biasanya dari luar kota Solo.
Harga bebek apkiran pertengahan Oktober lalu Rp 33.000 per ekor. Setelah diolah di warung Slamet, harga berubah menjadi Rp 50.000, yang jatuhnya lebih murah daripada membeli potongan.
Bila hanya memesan dada (menthok) atau paha (tepong), harganya Rp 11.500 per potong. Sedangkan kepala dan ati dijual Rp 4.500.
Bebek goreng ini nikmat ketika dimakan dengan nasi hangat yang diimbuhi sambal korek. Kalau kepedasan, tersedia minuman air jeruk, teh, beras kencur, atau gula asam.
Soal kolesterol, juga jangan ragu. Slamet memiliki penawar. Pokoknya nyamleng! Konsumen pun mengalir tak putus.
Comments
Post a Comment